Raja, inilah Raja, Seorang Raja Diraja, khalifatullah ing tanah Jawa. Sri
Sultan Hamengkubuwana IX. Dilahirkan dengan nama Bendoro Raden Mas
Dorodjatun di Ngasem, merupakan putra dari Hamengkubuwana VIII dan Raden
Ajeng Kustilah. Dilahirkan di Ngayogyakarta Hadiningrat, 12 April 1912.
Bertahta di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 18 Maret
1940, dengan gelar 'Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan
Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama
Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.'
Tanpa banyak
cakap, Sri Sultan pun mengangkat dua karung besar beras ke bagian
belakang kendaraannya.
Beliau
merupakan satu diantara banyak pemimpin yang selalu melihat kebawah dan
memerhatikan rakyatnya. Jika menjadi pemimpin, maka akan sangat mudah
dan akan banyak godaan untuk menjadi lalim. Namun tidak begitu dengan
Raja Jawa ini, Beliau selalu melihat dan mengayomu yang bawah. Pepatah
jawa mengatakan "Adigang, Adigung, Adiguna." (mentang-mentang
kaya, mentang-mentang berkuasa, mentang-mentang kuat), begitulah keadaan
pemimpin Indonesia saat ini. Namun, Raja Jawa ini tidak begitu,
mengerti betul pepatah diatas, beliau ingin dirinya tidak seperti
pepetah tersebut, tidak ingin seperti kijang, gajah, dan ular. Beliau
memiliki prinsip "Andhap asor" yang artinya tetap merendah tanpa mengurangi wibawa.
Beliaulah Raja sebenarnya yang suka blusukan. Tidak seperti yang sekarang ini, yang inginnya selalu diekspos, satu Nusa Antara tahu
semua. Sri Sultan Hamengkubuwana sering jalan-jalan sendiri di sudut
kota Jogja tanpa pengawal, bahkan kadang tidak ada yang mengetahui siapa
dirinya. Ada banyak cerita keteladanan dari diri Beliau, namun satu
yang paling unik adalah cerita dirinya dengan seorang wanita tua penjual
beras.
Suatu hari pulang blusukan sendirian, di Desa
Godean, Land Rover-nya dihentikan oleh seorang penjual beras yang sudah
sepuh. Ia lantas menghentikan jip buatan Inggris itu ke pinggir dan
segera turun. Belum sempat mengeluarkan sepatah kata, perempuan tua itu
berseru: “ Niki, karung-karung beras niki diunggahake!” Rupanya,
sang penjual beras yang tak mengenal wajah Sri Sultan mengira raja Jawa
itu sebagai sopir angkutan beras yang biasa membawa para pedagang ke
Pasar Kranggan di wilayah kota Yogyakarta.
Tanpa banyak
cakap, Sri Sultan pun mengangkat dua karung besar beras ke bagian
belakang kendaraannya. Sementara itu sang penjual beras tanpa meminta
izin menaiki jip dan duduk di samping Sri Sultan. Sepanjang jalan,
mereka ngobrol dengan akrabnya hingga sampai di tujuan. Tanpa
diperintah, Sri Sultan pun keluar dari mobil dan dengan tangkas
menurunkan karung-karung tersebut.
Begitu selesai,
penjual beras itu lantas merogoh kemben usangnya dan mengeluarkan uang
lembaran dan disodorkan ke Sri Sultan. Lelaki ramah itu tersenyum dan
menggelengkan kepala. Disikapi seperti itu, alih-alih berterimakasih,
sang penjual beras malah ngomel-ngomel, dikiranya “sang sopir” tidak mau
menerima “ongkos” karena jumlah uangnya yang kurang. Dengan sabar, Sri
Sultan mengatakan,” Pun boten sisah, Mbakyu.” Artinya: tidak usah bayar, Mbak. Tanpa banyak bicara, ia lantas memacu Land Rover-nya ke arah keraton.
“ E, eeee…Diwenehi duwit kok nampik. Sumengkean temen ta sopir kuwi,” gerutu penjual beras itu. Ya, siapa yang tak berkata demikian di zaman susah itu jika ada sopir angkutan yang begitu belagu menampik duit.
Kendaraan
Sri Sultan sudah berlalu, namun perempuan itu tetap saja mengomel.
Tanpa disadarinya sudah lama perilakunya disaksikan banyak orang yang
ada di sekitarnya. Seorang polisi lantas menghampiri penjual beras itu
dan memberitahu jika “sopir” yang baru diomelinya itu adalah Ngarsa Dalem (Sri Sultan Hamengkubuwana IX).
Bukan
main kagetnya penjual beras itu. Bahkan saking kagetnya, ia lantas
terhuyung-huyung dan jatuh pingsan hingga dilarikan ke RS. Bethesda.
Kejadian itu lantas berkembang dari mulut ke mulut hingga sampai ke
telinga Sri Sultan. Demi mendengar si penjual beras yang mengomelinya
itu masuk rumah sakit, raja Jawa itu bergegas datang untuk menengok
salah satu rakyat yang selalu dijadikannya sebagai raja di hatinya.
Sungguh
sangat bagus sikap Raja Jawa ini, patut ditiru oleh semua orang,
terutama para pemimpin. Sangat mulia, sudah sewajarnya jika pada saat
Beliau wafat rakyat se-Yogyakarta pada bersedih hati. Dan ketika kereta
kencana yang membawa jasad Beliau melewati kerumunan orang yang bersedih
tersebut, suasananya tiba-tiba berubah menjadi hening, sebagai tanda
penghormatan. Hanya terdengar suara dari tapak kaki kuda yang menarik
kereta kencana. Sungguh mulia!
19 Februari 2015
@SutetSeru.blogspot.com